s-telecharger.com – , Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia belum lama ini mengeluarkan keputusan penting dengan mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk empat dari lima perusahaan tambang yang beroperasi di Raja Ampat. Keempat perusahaan tersebut adalah PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Kawei Sejahtera Mining, dan PT Nurham. Meskipun demikian, pemerintah memilih untuk tetap membiarkan PT Gag Nikel, anak usaha PT Antam Tbk., melanjutkan operasionalnya di wilayah seluas 13.136 hektare.
Keputusan ini segera menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Kepala Divisi Kampanye Walhi, Fanny Tri Jambore, menyatakan bahwa kebijakan tersebut menunjukkan sikap setengah hati pemerintah dalam upaya melindungi ekosistem Raja Ampat. “Meskipun pencabutan empat izin tambang adalah langkah positif, fakta bahwa PT Gag Nikel masih diizinkan beroperasi di pulau kecil menimbulkan pertanyaan besar,” kata Fanny melalui pesan tertulis, Rabu, 11 Juni 2025. Ia menegaskan, seharusnya, berdasarkan regulasi yang berlaku, tidak boleh ada aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil yang berpotensi merusak lingkungan secara permanen.
Fanny menjelaskan bahwa pertambangan di pulau-pulau kecil pada dasarnya merupakan ancaman serius terhadap keseimbangan ekologi dan keberlangsungan hidup masyarakat. Pulau-pulau kecil memiliki daya dukung dan daya tampung lingkungan yang sangat terbatas. Operasi pertambangan, menurutnya, tidak hanya meluluhlantakkan ekosistem darat tetapi juga mengancam kelangsungan hidup ekosistem bawah laut, yang merupakan sumber ekonomi dan pangan vital bagi masyarakat setempat.
Dampak negatif dari aktivitas pertambangan ini sudah terasa di Pulau Gag. Mengutip laporan Ekspedisi Tanah Papua 2021 dari Kompas, warga melaporkan bahwa populasi ikan yang dulunya melimpah di sekitar Pulau Gag kini lenyap. “Wilayah pesisir yang dulu dikenal sebagai ‘sarang ikan’ kini telah berubah menjadi dermaga bongkar muat material nikel,” ungkapnya. Lebih lanjut, paparan debu dari aktivitas pertambangan turut memperparah kondisi kesehatan masyarakat; angin kencang menerbangkan debu ke pemukiman, menyebabkan gangguan pernapasan. Selain itu, muncul pula kekhawatiran akan penyakit kulit akibat pencemaran air laut.
Ancaman serupa juga membayangi Pulau Kawe, yang luasnya kurang dari 50 kilometer persegi. Pulau ini terletak sangat dekat dengan kawasan Suaka Alam Perairan Waigeo Sebelah Barat, sebuah habitat krusial bagi kekayaan ekosistem laut. “Aktivitas pertambangan secara perlahan akan menggerus eksistensi Pulau Kawe, yang seharusnya dilindungi mengingat posisinya yang strategis dalam ekosistem Raja Ampat,” tambah Fanny.
Seluruh permasalahan ini, menurut Fanny, berakar pada penegakan regulasi yang lemah. Apabila merujuk pada peraturan yang ada, aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil semestinya tidak diizinkan. Walhi menyoroti bahwa meskipun pemerintah berdalih Pulau Gag tidak termasuk dalam Kawasan Geopark Raja Ampat, aktivitas penambangan yang dilakukan oleh PT Gag Nikel di sana tetap melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Hal ini dikarenakan Pulau Gag masuk dalam kategori pulau kecil, di mana kegiatan penambangan bukan merupakan kegiatan yang diprioritaskan dan dilarang sesuai Pasal 1 angka 3, Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 35 huruf K.
Selain itu, terdapat beberapa preseden Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 57 P/HUM/2022 dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang secara gamblang menegaskan bahwa kegiatan penambangan di pulau kecil dilarang. Keputusan-keputusan tersebut menyatakan kegiatan penambangan sebagai “bentuk kegiatan yang menimbulkan ancaman sangat berbahaya (abnormally dangerous activities) yang berdampak serius serta kerusakannya tidak dapat dipulihkan.” “Oleh karenanya, kegiatan penambangan yang dilakukan oleh PT Gag Nikel secara terang-terangan melanggar ketentuan undang-undang serta prinsip fundamental perlindungan lingkungan hidup, khususnya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” tegas Fanny.
Fanny menambahkan, sebagai negara yang sangat rentan terhadap dampak ekstrem perubahan iklim, Indonesia akan merasakan konsekuensi buruk jika kegiatan penambangan di pulau kecil dibiarkan. Hal ini akan sangat membahayakan kelangsungan hidup pulau kecil itu sendiri dan masyarakat yang bermukim di sana. “Kekhawatiran kami adalah jika aktivitas PT Gag Nikel dibiarkan berlanjut, maka praktik pembongkaran gunung dan penggalian lubang tambang di Pulau Gag ini akan semakin tak terkendali,” ujarnya.
Senada dengan itu, Direktur Walhi Papua, Maikel Peuki, menyampaikan kekhawatiran mendalam bahwa masyarakat adat Papua, pemilik hak ulayat, akan dipaksa mengungsi ke pulau besar, kehilangan wilayah adatnya. “Terutama anak cucu generasi selanjutnya akan kehilangan identitas budaya, kampung halaman, dan kekayaan alam Papua yang tak ternilai,” tutur Maikel.
Oleh karena itu, Walhi mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap semua izin tambang di pulau-pulau kecil, bukan hanya mencabut sebagian kecil izin saja. Dalam catatan Walhi, masih terdapat setidaknya 248 izin pertambangan yang beroperasi di 43 pulau kecil di seluruh Indonesia. “Apabila ini dibiarkan, maka dalam jangka panjang, ekosistem pesisir dan kehidupan masyarakat lokal akan semakin terancam, memperpanjang daftar pulau-pulau kecil Indonesia yang terancam tenggelam atau bahkan lenyap,” pungkasnya.
Pilihan Editor: Konservasi Indonesia: Raja Ampat Dilindungi, Bukan Ditambang