Prabowo Turun Tangan: Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut, Apa Dasar Hukumnya?

Prabowo Turun Tangan: Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut, Apa Dasar Hukumnya?

Jakarta – Presiden Prabowo Subianto secara tegas mengambil alih penyelesaian sengketa wilayah yang telah berlarut-larut terkait empat pulau di antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Dalam keputusan terbarunya, Presiden Prabowo membatalkan penetapan sebelumnya oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan memutuskan untuk mengembalikan keempat pulau tersebut—yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—ke dalam wilayah administrasi Aceh.

Keputusan krusial ini diumumkan oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi setelah Presiden Prabowo menggelar rapat terbatas dengan sejumlah pihak terkait di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Selasa, 17 Juni 2025. Penetapan ini sekaligus menganulir Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138/2025 yang sebelumnya diterbitkan pada 25 April 2025, yang menempatkan pulau-pulau tersebut di bawah administrasi Sumatera Utara.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa Presiden memiliki kewenangan penuh untuk mengambil alih dan memutuskan sengketa batas wilayah jika para pihak, dalam hal ini Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara, tidak mencapai kesepakatan. “Tentu berwenang. Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan negara yang tertinggi menurut UUD 1945,” ujar Yusril kepada Antara di Jakarta, Selasa. Kewenangan Presiden tersebut memungkinkan penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) kepada Menteri Dalam Negeri, yang kemudian akan ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) mengenai tapal batas darat dan laut antara Kabupaten Aceh Singkil di Aceh dengan Kabupaten Tapanuli Tengah di Sumut. Dengan demikian, permasalahan sengketa empat pulau ini diharapkan dapat diselesaikan secara tuntas. Yusril menambahkan bahwa meskipun gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak berlaku untuk keputusan ini, jalur judicial review atau peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (MA) tetap terbuka. Putusan MA, yang bersifat final and binding, akan menjadi jalan hukum untuk menyelesaikan status keempat pulau ini secara damai dan bermartabat.

Perubahan keputusan ini didasarkan pada temuan penting berupa dokumen asli yang menjadi dasar hukum kuat, sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa, Tito menjelaskan bahwa keputusan tersebut merujuk pada dokumen Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 1992 yang ditandatangani pada 24 November 1992. Dokumen asli ini, yang menunjukkan kesepakatan batas wilayah antara Aceh dan Sumut, memiliki kekuatan pembuktian jauh lebih kuat dibandingkan salinannya. Penemuan dokumen krusial ini membuktikan adanya pengakuan yang sah atas kesepakatan antara Gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hasan, dan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar, yang disaksikan langsung oleh Mendagri Rudini. Dokumen tersebut, yang sebelumnya hanya tersedia dalam bentuk fotokopi, ditemukan oleh tim arsip Kementerian Dalam Negeri setelah pencarian intensif selama beberapa bulan di Pusat Arsip Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Selain itu, dokumen tersebut juga merujuk pada Peta Topografi TNI AD tahun 1978, yang secara eksplisit menunjukkan bahwa keempat pulau tersebut berada di luar wilayah Sumatera Utara dan masuk dalam batas administratif Aceh.

Sengketa empat pulau di wilayah Aceh Singkil antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara ini telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman penjajahan Belanda, dimulai pada tahun 1928. Mendagri Tito Karnavian sebelumnya menyatakan bahwa persoalan ini memiliki sejarah panjang dan telah difasilitasi berkali-kali oleh berbagai kementerian dan lembaga. Meskipun demikian, pada tahap sebelumnya, Mendagri sempat memutuskan bahwa empat pulau tersebut, setelah diteliti oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), TNI Angkatan Laut, dan Topografi Angkatan Darat, berada dalam wilayah Sumatera Utara. Keputusan inilah yang kemudian memicu penolakan di Aceh hingga Presiden akhirnya turun tangan.

Menindaklanjuti keputusan Presiden Prabowo Subianto, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto memastikan bahwa Kementerian Dalam Negeri akan segera merevisi Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Revisi ini bertujuan untuk memasukkan kembali keempat pulau yang disengketakan—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—ke dalam wilayah administrasi Provinsi Aceh, sesuai dengan arahan Presiden. Bima Arya menambahkan bahwa proses revisi tersebut tidak rumit dan dapat diselesaikan dalam waktu singkat, bahkan bisa dilakukan hari ini atau besok.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *