Keterbatasan Finansial: Hambatan Utama Memiliki Keluarga yang Diinginkan, Ungkap Laporan UNFPA
Mimpi memiliki dua atau tiga anak pernah menghiasi angan-angan Dian Dewi Purnamasari saat masih lajang. Namun, enam tahun setelah kelahiran putri pertamanya, kenyataan hidup di Jakarta mengubah pandangan perempuan 36 tahun ini. Tinggi biaya hidup dan tuntutan finansial lainnya memaksanya untuk merevisi rencana keluarga. “Apalagi biaya hidup sekarang mahal,” ujarnya, yang bekerja sebagai wartawan dengan suami berprofesi sebagai pekerja lepas. Menyisihkan dana untuk pendidikan kuliah sang putri yang masih TK saja sudah terasa berat. “Secara finansial sudah ngepas. Kami hidup dari gaji ke gaji, untuk menabung saja susah,” kata Dian. Impian menambah momongan pun terpaksa harus ditunda, bahkan mungkin tak akan terwujud.
Kisah Dian bukanlah cerita yang terisolasi. Laporan terbaru Badan Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA), State of the World Population, mengungkap fenomena serupa yang semakin umum terjadi di seluruh dunia. Survei UNFPA terhadap 14.000 orang di 14 negara—termasuk Indonesia—menunjukkan bahwa satu dari lima responden mengaku belum atau diperkirakan tidak akan memiliki jumlah anak yang mereka inginkan. Di Indonesia sendiri, sebanyak 1.050 responden berpartisipasi dalam survei daring ini. Negara-negara yang dilibatkan dalam survei ini mewakili beragam kondisi: berpenghasilan rendah, menengah, dan tinggi, dengan angka kelahiran rendah maupun tinggi, dan mencakup sepertiga populasi global.
Natalia Kanem, Kepala UNFPA, menyatakan keprihatinan atas penurunan angka kelahiran global yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Kebanyakan orang yang disurvei ingin punya dua atau lebih dari dua anak. Alasan terbesar penurunan angka kelahiran ini adalah banyak orang merasa mereka tidak mampu mewujudkan keluarga yang mereka inginkan. Dan inilah krisis yang sebenarnya,” tegasnya. Pendapat senada diungkapkan ahli demografi Anna Rotkirch, yang menekankan bahwa lebih banyak orang memiliki lebih sedikit anak dari yang mereka inginkan daripada sebaliknya. Bahkan, jumlahnya mungkin lebih besar dari perkiraan. Hasil survei UNFPA ini, menurut Rotkirch, sangat menarik karena merefleksikan fenomena yang telah diamati di Eropa dalam skala global. Yang mengejutkan, 31% responden berusia 50 tahun ke atas mengaku memiliki lebih sedikit anak daripada yang mereka inginkan.
Meskipun survei ini, yang akan menjadi dasar riset lanjutan di 50 negara tahun ini, memiliki beberapa keterbatasan—terutama metode daring di beberapa negara dan ukuran sampel yang kecil di beberapa kelompok usia—beberapa temuannya cukup jelas. Dari 14.000 responden, hanya 4.000 yang menyatakan ingin childfree (tidak memiliki anak sama sekali). Bagi mereka yang ingin memiliki anak tetapi membatasi jumlahnya, alasan utama adalah keterbatasan finansial (39%), diikuti oleh kurangnya keamanan kerja atau pengangguran (21%). Hanya 12% responden yang menyebutkan alasan kesehatan atau fertilitas.
Temuan Survei di Indonesia: Lebih dari Sekadar Uang
Di Indonesia, ekonomi menjadi faktor dominan yang membatasi jumlah anak yang diinginkan. Keterbatasan finansial (39%), keterbatasan hunian (22%), dan kurangnya akses perawatan anak berkualitas (6%) mendominasi alasan responden Indonesia. Meskipun masalah kesehatan seperti infertilitas juga muncul (6%), faktor keinginan yang berubah (19%) dan kekhawatiran akan masa depan (14%), termasuk dampak perubahan iklim (9%), juga signifikan. Kurangnya keterlibatan pasangan dalam pekerjaan rumah tangga (16%) dan saran dari tenaga kesehatan (7%) juga menjadi faktor yang mengemuka.
Ironisnya, mayoritas responden di seluruh negara, termasuk Indonesia, menyatakan alasan utama mereka ingin memiliki anak adalah kebahagiaan dan kepuasan dalam membesarkan anak. Di Indonesia, Nigeria, dan beberapa negara lain, memiliki anak juga terkait dengan keberlangsungan nama keluarga dan dukungan di masa tua.
Pandangan Pakar dan Kesimpulan
Stuart Gietel-Basten, ahli demografi dari Hong Kong University of Science and Technology, menyebut survei UNFPA ini sebagai yang pertama kali secara menyeluruh meneliti permasalahan rendahnya tingkat kelahiran. Ia juga menekankan perlunya kehati-hatian dalam menanggapi fenomena ini, menghindari respons yang berlebihan dan manipulatif yang memaksa perempuan untuk memiliki lebih banyak atau lebih sedikit anak. Natalia Kanem menambahkan, 40 tahun lalu beberapa negara Asia Timur khawatir akan populasi yang terlalu tinggi, namun kini berbalik berusaha meningkatkan angka kelahiran. Gietel-Basten mengingatkan bahaya penggunaan isu ini untuk mendukung kebijakan-kebijakan nasionalis, anti-migran, dan konservatif terhadap gender.
Kembali pada Dian, selain faktor ekonomi, kurangnya waktu juga menjadi pertimbangan utama. Padatnya aktivitas dan kemacetan di Jakarta membuatnya merasa kewalahan secara fisik. “Kalau ada anak satu lagi, sepertinya enggak akan bisa fokus ke anak yang sudah ada. Kasihan dia,” katanya. Untuk saat ini, keputusan untuk hanya memiliki satu anak tetap tak tergoyahkan.
Artikel Terkait:
- ‘Bagaimana kamu bisa berasumsi hidup saya tidak berarti karena saya tidak punya anak?’ – Pengakuan para pasutri yang memutuskan ‘childfree’ di Indonesia
- Resesi seks: Apakah Indonesia kekurangan bayi?
- Mengapa anak tunggal selalu dianggap egois dan manja?
- ‘Child-free’ semakin populer: Orang-orang yang menjalani kehidupan tanpa anak
- Nestapa ‘anak oleh-oleh’ pekerja migran: Jadi korban pernikahan anak hingga pelecehan seksual – ‘Kami terus terjebak di lingkaran setan’
- Lima negara terbaik untuk membesarkan anak – orang tua dapat cuti berlimpah hingga lingkungan yang ‘sangat aman’
Tinggalkan Balasan