Kerja sama antara Kejaksaan Agung dengan sejumlah penyedia layanan telekomunikasi terkait penyadapan telah memicu kekhawatiran serius di kalangan pengamat dan pegiat hak digital. Kesepakatan ini dinilai “problematis” karena berpotensi mengarah pada praktik pengawasan massal yang melanggar hak asasi atas privasi warga negara.
Menurut Wahyudi Djafar, seorang peneliti isu kebijakan digital, salah satu poin krusial yang menjadi sorotan adalah absennya regulasi spesifik yang mengatur pembatasan aktivitas penyadapan oleh Kejaksaan Agung. Wahyudi menegaskan, kesepakatan dengan operator telekomunikasi ini dapat menimbulkan kesan bahwa Kejaksaan Agung akan melakukan “surveillance” atau pengawasan massal, sebuah tindakan yang berisiko tinggi terhadap kebebasan individu.
Senada dengan Wahyudi, pegiat hak digital Nenden Sekar Arum dari Safenet menyoroti pentingnya persetujuan konsumen. Ia menegaskan bahwa setiap warga negara, sebagai pengguna layanan telekomunikasi, berhak mengetahui dan memberikan persetujuan terkait kemungkinan penyadapan data pribadi mereka. Tanpa persetujuan eksplisit dari pengguna, tindakan penyadapan dianggap melanggar hak atas privasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
Menanggapi kritik tersebut, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengklaim bahwa pihaknya tidak akan melakukan penyadapan secara sembarangan. Harli menyatakan, kerja sama ini murni dilakukan dalam konteks penegakan hukum dan bertujuan untuk mendukung fungsi intelijen, sebagaimana dikutip dari Kompas.com. Namun, pernyataan ini mendapat tanggapan dari Ketua DPR, Puan Maharani, yang menekankan pentingnya hak konstitusional atas perlindungan data pribadi. Puan menegaskan, meskipun penegakan hukum sangat vital, Kejaksaan harus tetap menghormati hak privat yang merupakan hak konstitusional warga, sebagaimana dilaporkan oleh Tempo.
Nota kesepahaman yang menjadi pangkal polemik ini ditandatangani Kejaksaan Agung dengan empat penyedia layanan telekomunikasi raksasa pada Selasa (24/06). Keempat perusahaan tersebut adalah PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), PT Indosat Tbk, dan PT XL Smart Telecom Sejahtera Tbk. Kerja sama ini ditujukan untuk memperkuat pertukaran dan pemanfaatan informasi demi kebutuhan intelijen Kejaksaan.
Perjanjian kerja sama penyadapan ini dianggap bermasalah terutama karena kekosongan regulasi yang spesifik. Wahyudi Djafar dari Raksha Initiatives menjelaskan bahwa hingga saat ini, Kejaksaan belum memiliki undang-undang yang secara jelas mengatur pembatasan penyadapan. Meskipun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 30 C menyebutkan “penyadapan berdasarkan Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan di bidang tindak pidana,” sayangnya Undang-Undang Penyadapan yang dimaksud belum juga terwujud, terang Wahyudi kepada BBC News Indonesia.
Pembatasan penyadapan menjadi sangat penting karena tindakan ini pada dasarnya membatasi hak asasi seseorang. Wahyudi menjelaskan bahwa penyadapan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, diperlukan pembatasan yang jelas, seperti kewajiban mendapat surat perintah pengadilan atau hanya dilakukan untuk kasus-kasus dengan barang bukti yang memadai. Tanpa batasan yang tegas, Kejaksaan berpotensi “mengakses data secara terus-menerus, melakukan penyadapan secara terus-menerus terhadap komunikasi-komunikasi personal melalui operator telekomunikasi yang bersepakat dengan Kejaksaan Agung.” Hal ini, menurut Wahyudi, sangat mengancam perlindungan hak atas privasi warga negara. Ia mencontohkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang, dalam melakukan penyadapan, wajib meminta izin kepada Dewan Pengawas internalnya.
Untuk meminimalkan potensi pelanggaran hak digital, Nenden Sekar Arum dari Safenet menekankan bahwa warga harus memberikan persetujuan terlebih dahulu terkait segala hal yang dilakukan penyedia layanan telekomunikasi terhadap data pribadi mereka. Merujuk pada UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), Nenden menegaskan bahwa pemrosesan data pribadi tanpa persetujuan pengguna adalah pelanggaran terhadap hak privasi. Ia juga menuntut agar perusahaan penyedia layanan secara transparan menginformasikan jenis data apa yang dibagikan kepada aparat penegak hukum, dan pembagian data tersebut harus dilakukan secara terukur. Idealnya, hanya data dari individu yang memberikan “consent” atau persetujuan yang dapat dibagikan. Jika konsumen tidak mendapat penjelasan yang memuaskan dari layanan pelanggan perusahaan, Nenden menyarankan agar mereka mempertimbangkan untuk menginisiasi tindakan hukum, seperti somasi.
Meskipun demikian, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) memiliki pandangan yang berbeda. Ketua APJII, Muhammad Arif, menilai kerja sama antara Kejaksaan Agung dan operator telekomunikasi justru merupakan langkah positif. Menurut Arif, penyadapan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab akan memastikan bahwa tindakan tersebut tidak disalahgunakan. Arif juga menambahkan bahwa konsumen memang perlu memahami dengan baik syarat dan ketentuan layanan telekomunikasi yang mereka gunakan. Namun, di sisi lain, ia setuju bahwa perusahaan juga memiliki kewajiban untuk bersikap transparan dan menyosialisasikan kebijakan-kebijakan terkait kemungkinan penyadapan kepada seluruh konsumen mereka.
Tinggalkan Balasan