Harga minyak mentah dunia turun sekitar 5% pada Selasa (24/06) setelah Israel menyepakati gencatan senjata dengan Iran. Perkembangan geopolitik ini segera meredakan ketegangan pasar yang sebelumnya memicu lonjakan harga.
Minyak mentah Brent, patokan harga minyak internasional, kini diperdagangkan di level US$68 (sekitar Rp1,1 juta) per barel. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan harga saat Israel meluncurkan rudal ke fasilitas nuklir Iran pada 13 Juni lalu, yang sempat menyebabkan gejolak di pasar energi global.
Beberapa hari terakhir, kekhawatiran pasar memuncak seiring potensi Iran memblokade Selat Hormuz, jalur pengiriman utama minyak dan gas dunia. Ancaman ini membuat harga minyak melonjak tajam, bahkan sempat mencapai US$81 (sekitar Rp1,3 juta) per barel sejak awal serangan rudal.
Priyanka Sachdeva, analis pasar senior di Phillip Nova, mengutarakan pandangannya mengenai situasi ini. “Jika gencatan senjata diikuti seperti yang diumumkan, investor mungkin mengharapkan harga minyak kembali normal,” ujarnya.
Namun, Sachdeva menambahkan catatan penting bahwa keberlanjutan penurunan harga minyak sangat bergantung pada sejauh mana Israel dan Iran mematuhi ketentuan gencatan senjata yang baru saja diumumkan. Kepatuhan kedua belah pihak akan menjadi faktor krusial dalam menentukan arah pasar ke depan.
Presiden AS, Donald Trump, turut mendesak Israel dan Iran untuk tidak “melanggar” kesepakatan gencatan senjata tersebut. Sementara itu, Israel menyatakan kesediaannya untuk menyepakati gencatan senjata setelah mengklaim telah “menghilangkan ancaman nuklir Iran”.
Penurunan harga minyak yang drastis ini sontak memicu kegairahan di bursa saham global. Indeks FTSE 100 di Inggris menguat 0,45% pada perdagangan awal, disusul CAC-40 di Prancis yang naik 1,5%, dan Dax Jerman dengan kenaikan 1,8%.
Sentimen positif juga menyebar ke pasar Asia, dengan indeks saham Nikkei Jepang melonjak 1,1% dan Hang Seng Hong Kong naik 2,1%, menunjukkan respons optimis dari investor terhadap meredanya ketegangan geopolitik.
Volatilitas harga minyak belakangan ini memang sangat dipengaruhi oleh serangkaian kejadian geopolitik yang cepat. Akhir pekan lalu, Amerika Serikat melakukan pengeboman terhadap situs nuklir di Iran, yang kemudian direspons Iran dengan serangan balasan ke pangkalan AS di Qatar pada Senin (23/06).
Peristiwa eskalasi ini mendorong harga minyak mentah Brent mencapai level tertinggi dalam lima bulan setelah pembukaan pasar di London. Ketegangan yang memanas tersebut menimbulkan kekhawatiran serius akan gangguan pasokan energi global.
Ancaman blokade Selat Hormuz oleh Iran, yang merupakan salah satu rute pengiriman minyak mentah terpenting di dunia, menjadi poin kekhawatiran utama yang dapat memperburuk dampak terhadap pasar energi global.
Meski harga minyak sempat diperdagangkan di bawah level Januari, namun posisinya masih jauh di atas harga pada April dan Mei, periode setelah serangan Israel terhadap Iran awal bulan ini. Ini menunjukkan sensitivitas pasar terhadap setiap insiden di kawasan.
Presiden AS Donald Trump, pada Senin (23/06), menyuarakan kekhawatirannya dan mendesak peningkatan produksi minyak. Ia bahkan mengunggah instruksi di media sosial dengan pesan singkat: “Semua orang, pertahankan harga minyak tetap rendah”.
Eskalasi konflik antara Israel dan Iran secara berkelanjutan mendorong kenaikan harga energi global. Jika tidak terkendali, dampak kenaikan ini akan merembet ke berbagai sektor, mulai dari harga bahan bakar hingga komoditas pangan, membebani ekonomi masyarakat di seluruh dunia.
Situasi ini mengingatkan pada kejadian tiga tahun lalu, saat invasi Rusia ke Ukraina juga memicu krisis energi global yang berdampak luas pada kehidupan banyak orang.
Mengapa Selat Hormuz begitu penting?
Selat Hormuz adalah jalur air strategis yang menghubungkan Teluk Persia dengan Laut Arab. Pada titik tersempitnya, selat ini memiliki lebar hanya 33 kilometer, menjadikannya ‘titik cekik’ vital bagi pelayaran internasional.
Sebagai salah satu rute pelayaran terpenting di dunia, setiap harinya sekitar seperlima dari total pasokan minyak dan gas dunia, yang bernilai sekitar US$600 miliar (setara Rp9,8 kuadriliun), melewati selat ini.
Pasokan minyak mentah yang krusial ini berasal dari negara-negara Teluk seperti Irak, Kuwait, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, dan bahkan Iran sendiri. Potensi gangguan di jalur ini dapat mengganggu pasokan global secara masif.
Pada Minggu (22/06) malam, ketegangan sempat memuncak ketika televisi pemerintah Iran melaporkan bahwa parlemen negara tersebut telah sepakat untuk menutup selat tersebut, sebuah langkah yang berpotensi memiliki dampak sangat besar pada pelayaran global dan pasar energi.
Apa skenario terburuk?
Para analis di Goldman Sachs telah memaparkan skenario terburuk yang mengkhawatirkan: pasokan minyak melalui Selat Hormuz dapat berkurang hingga setengahnya selama sebulan, dan kemudian turun 10% selama 11 bulan berikutnya. Dalam skenario ini, mereka memperkirakan harga minyak mentah Brent akan melonjak mencapai puncaknya di US$110 (sekitar Rp1,7 juta) per barel.
Meskipun demikian, ada kelegaan di kalangan pedagang karena kemungkinan Iran benar-benar menutup Selat Hormuz secara permanen dinilai tidak besar. Helima Croft, kepala strategi komoditas global di RBC Capital Markets, menjelaskan, “Akan sulit bagi Iran untuk menutup Selat Hormuz sepenuhnya untuk jangka waktu yang lama karena posisi Armada Kelima Angkatan Laut AS di Bahrain.”
“Saya pikir itu sangat tidak mungkin,” tambah Simon French, kepala ekonom di Panmure Liberum. Ia juga menyoroti bahwa Iran kemungkinan akan mendapat tekanan dari sekutunya untuk menjaga agar selat itu tetap terbuka. “Peran China dalam semua ini cukup signifikan, karena mereka dapat memutuskan apakah mereka ingin memberikan dukungan finansial dan militer kepada Iran, dan mereka tidak akan melakukan itu jika mereka berpikir bahwa penyedia utama minyak mereka akan terganggu,” jelas French, menggarisbawahi kepentingan strategis China dalam situasi ini.
Apakah konflik akan memengaruhi harga bensin?
Sudah dapat dipastikan bahwa setiap konflik di Timur Tengah akan memengaruhi harga energi global, yang pada gilirannya berdampak langsung pada harga bahan bakar di pompa bensin. Sejak awal konflik, harga minyak telah meningkat tajam, menghapus dampak positif dari pengumuman tarif “Hari Pembebasan” Trump pada April lalu, yang sempat membuat harga minyak mentah Brent turun hingga US$60 (sekitar Rp981.000).
Simon French menyatakan bahwa konflik di Timur Tengah telah “menghilangkan semua dampak tarif pada pasar energi”, yang mendorong harga kembali ke posisi akhir Maret. Kekhawatiran terbesar bagi rumah tangga di Inggris, misalnya, adalah potensi kenaikan harga gas alam cair (LNG).
Meskipun Inggris mengimpor sebagian besar LNG-nya dari Norwegia, blokade apa pun di Selat Hormuz akan memicu kenaikan harga secara global. Craig Lowrey, konsultan utama di Cornwall Insights, meyakini bahwa biaya pengeluaran rumah tangga saat ini masih aman dari volatilitas, berkat batas harga energi yang diumumkan regulator energi Ofgem untuk Juli hingga September.
Namun, jika konflik ini terus berlanjut hingga September, tagihan rumah tangga sangat mungkin akan mengalami kenaikan. Sektor bisnis, yang tidak dilindungi oleh pembatasan harga, berpotensi langsung merasakan dampaknya, menciptakan tantangan signifikan.
Konsumen juga akan melihat dampak langsung pada harga bahan bakar di stasiun pengisian bensin. French menjelaskan adanya jeda sekitar “tiga atau empat minggu saat minyak melewati sistem penyulingan” sebelum perubahan harga sampai ke konsumen.
Meski demikian, French menekankan bahwa harga saat ini masih “jauh” dari puncak yang tercatat pada musim semi 2022, ketika Rusia baru saja menginvasi Ukraina, sebuah perbandingan yang memberikan sedikit gambaran mengenai potensi ekstremitas harga.
Apa artinya ini bagi ekonomi global?
Kenaikan harga minyak yang berkelanjutan akan memicu efek domino, menyebabkan harga kebutuhan sehari-hari melonjak di berbagai negara di dunia. Hal ini terjadi karena meningkatnya biaya produksi dan transportasi, yang pada gilirannya akan mendorong laju inflasi secara signifikan.
Pada pertengahan Juni, Capital Economics memperkirakan bahwa jika harga minyak naik melampaui US$100 (sekitar Rp1,6 juta) per barel, inflasi di negara maju dapat meningkat hingga 1%. Situasi ini tentu akan menyulitkan bank sentral yang tengah berupaya menurunkan suku bunga untuk menstimulasi ekonomi.
Garry White, kepala komentator investasi di Charles Stanley Group, mencatat bahwa di AS, Federal Reserve telah mengisyaratkan jeda dalam siklus pelonggaran kebijakan moneternya, dengan alasan “risiko geopolitik terhadap stabilitas harga”. Di Eropa, ekspektasi inflasi juga telah meningkat untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir.
Negara-negara berkembang di Asia dan Afrika menjadi pihak yang sangat rentan terhadap gejolak ini. White menjelaskan, “Banyak yang sangat bergantung pada impor minyak dan gas dari Timur Tengah dan tidak memiliki penyangga keuangan yang memadai untuk menyerap lonjakan harga yang tiba-tiba.”
Jika inflasi terus meningkat, Bank of England mungkin juga akan memperlambat, atau bahkan menghentikan, program pemotongan suku bunganya. Simon French memperkirakan bahwa, jika harga minyak mencapai US$110 (sekitar Rp1,7 juta) per barel, inflasi di Inggris bisa melonjak di atas 4% dari level saat ini 3,4%.
“Ini akan menjadi lingkungan yang sangat sulit [bagi Bank of England] untuk terus memangkas suku bunga seperti yang telah mereka lakukan,” tutup French, menyoroti dilema kebijakan moneter di tengah ketidakpastian geopolitik.
- AS dorong China mencegah Iran menutup Selat Hormuz – Apa akibatnya jika jalur minyak itu diblokir?
- AS menyerang tiga fasilitas nuklir Iran, apa dampaknya dan bagaimana Iran akan membalas?
- Israel dan Iran sepakat gencatan senjata
- Siapa Mordechai Vanunu yang membocorkan program nuklir Israel?
- Fordo, fasilitas nuklir rahasia Iran yang hanya bisa dihantam oleh bom AS
- Kehidupan di Teheran saat jet-jet Israel terbang di atas kepala
- AS gabung dengan Israel serang Iran akan ciptakan ‘malapetaka’ – Bagaimana posisi UK?
- Bagaimana awal pertikaian Iran-Israel dan ke mana arahnya?
- Fordo, fasilitas nuklir rahasia Iran yang hanya bisa dihantam oleh bom AS
- AS dorong China mencegah Iran menutup Selat Hormuz – Apa akibatnya jika jalur minyak itu diblokir?
- Bagaimana cara pesawat siluman B-2 menyerang fasilitas nuklir Iran?
- Puluhan WNI yang dievakuasi dari Iran dipulangkan secara bertahap ke Indonesia
Tinggalkan Balasan