Harga Energi Naik Turun: Analisis & Prediksi Terbaru 2024

Harga Energi Naik Turun: Analisis & Prediksi Terbaru 2024

Setelah menguat signifikan, harga komoditas energi global mengalami pelemahan pada Jumat (20/6). Volatilitas harga di pasar energi diproyeksikan masih akan tinggi seiring dengan dinamika geopolitik yang memanas di Timur Tengah, menyusul pecahnya konflik Iran-Israel yang menarik perhatian dunia.

Berdasarkan data dari Trading Economics, harga minyak WTI terpantau turun 0,12% dalam 24 jam terakhir, mencapai US$ 73,44 per barel pada pukul 22.12 WIB. Demikian pula, minyak Brent melemah 0,75% menjadi US$ 76,58 per barel. Penurunan juga terlihat pada gas alam yang merosot 3,27% ke level US$ 3,95 per MMBtu. Berbeda dengan tren tersebut, harga batubara justru mencatat penguatan tipis 0,28%, mencapai US$ 107 per ton.

Wahyu Laksono, Founder Traderindo, menyoroti bahwa penguatan harga minyak dunia yang dipicu oleh konflik Iran-Israel tidak terlalu signifikan. Menurutnya, pasar telah mengantisipasi gejolak ini, sehingga dampaknya sudah price-in. Hal ini mengingat konflik di Timur Tengah bukanlah fenomena baru, dan para pelaku pasar telah belajar untuk mengantisipasi gejolak serupa. Selain itu, sifat konflik yang terbatas, pengalaman dari konflik-konflik sebelumnya, dan faktor permintaan turut menjadi penahan. “Kekhawatiran akan perlambatan ekonomi global juga menjadi penahan kenaikan harga,” ungkapnya kepada Kontan.co.id, Jumat (20/6).

Wahyu memprediksi harga minyak berpotensi kembali tenang dalam jangka pendek, terutama jika ada kabar bahwa Iran menginginkan deeskalasi perang. Namun demikian, potensi lonjakan harga yang tajam dalam waktu dekat tetap ada, khususnya jika konflik meluas, timbul ancaman terhadap Selat Hormuz yang krusial, atau sentimen pasar bergeser menjadi sangat bearish terhadap pasokan. “Potensi kenaikan rasional jika eskalasi meningkat setidaknya hanya menguji level US$ 80 – US$ 90 per barel,” sebutnya.

Sebaliknya, jika ketegangan mereda, harga minyak WTI diperkirakan akan berkisar di US$ 65 – US$ 75 per barel. Beberapa faktor kunci yang akan memengaruhi fluktuasi ini meliputi tingkat permintaan global, tingkat produksi dari OPEC+ dan Non-OPEC, kapasitas cadangan strategis, serta tingkat persediaan. Untuk proyeksi jangka panjang, dengan asumsi geopolitik yang terkendali dan fundamental ekonomi yang stabil meskipun cenderung tertekan, harga minyak diperkirakan akan berfluktuasi antara US$ 50 – US$ 100 per barel, dengan pergerakan wajar di kisaran US$ 70 – US$ 80 per barel.

Beralih ke gas alam, Wahyu Laksono melihat level resistensi harga di US$ 4 – US$ 4,2 per MMBtu. Namun, jika gagal menembus resistensi tersebut, harga gas alam berpotensi kembali menguji level support di sekitar US$ 3 per MMBtu atau bahkan US$ 2 per MMBtu. Untuk jangka panjang, faktor-faktor fundamental seperti pasokan global, permintaan (termasuk dampak dari transisi energi), kondisi geopolitik, dan cuaca ekstrem akan sangat memengaruhi arah harga. Menurut Wahyu, “Jika permintaan global terhadap gas alam tetap tinggi atau meningkat, dan pasokan tidak dapat mengimbangi, ada potensi harga kembali menguji level yang lebih tinggi.” Sebaliknya, jika terjadi kelebihan pasokan atau pergeseran yang lebih cepat ke energi terbarukan, harga bisa tertekan.

Sementara itu, untuk batubara, Wahyu mengidentifikasi level support di US$ 100 – US$ 110 per ton. Menurutnya, selama harga bertahan di atas level ini, potensi penurunan tajam dalam jangka pendek akan terbatas. Adapun level resistensi berada di US$ 120 – US$ 130 per ton. Jika harga berhasil menembus dan bertahan di atas level ini, ada potensi kenaikan terbatas menuju US$ 150 – US$ 160 per ton. Harga cenderung berkonsolidasi setelah periode penurunan tajam, menunjukkan pergerakan yang relatif datar dengan potensi kenaikan terbatas jika berhasil menembus resistensi terdekat. “Adapun China masih menjadi sentimen utama untuk batubara,” tambahnya.

Dalam perspektif jangka panjang, tekanan terhadap penggunaan batubara sebagai sumber energi cenderung meningkat, didorong oleh masalah lingkungan dan dorongan global menuju energi terbarukan. Meskipun demikian, permintaan dari negara-negara berkembang dan industri tertentu diperkirakan masih akan tetap ada untuk beberapa waktu ke depan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *