Jakarta – Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan signifikan pada kuartal I tahun 2025, hanya mencapai 4,87 persen. Angka ini jauh di bawah capaian kuartal pertama tahun sebelumnya yang sebesar 5,11 persen, serta agregat pertumbuhan ekonomi tahun lalu sebesar 5,03 persen. Penurunan tajam ini memicu kekhawatiran dan memunculkan analisis mendalam mengenai penyebabnya.
Analis Kebijakan Ekonomi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, membeberkan beberapa faktor utama di balik anjloknya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah satu penyebab krusial adalah melemahnya kemampuan konsumsi masyarakat, yang secara langsung diakibatkan oleh masifnya pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak awal tahun. Tercatat, korban PHK telah mencapai 70 ribu pekerja pada kuartal I 2025, sebuah angka yang mengkhawatirkan.
Kondisi ini diperparah dengan peningkatan angka kemiskinan yang menyentuh 60,3 persen. Menurut Ajib, fenomena ini sejalan dengan menurunnya daya beli masyarakat secara keseluruhan, menciptakan lingkaran setan yang menghambat pemulihan ekonomi domestik.
Selain itu, Ajib juga menyoroti pola belanja pemerintah atau government spending pada awal tahun yang dinilai kurang ideal. Realisasi penerimaan pajak hanya mencapai 14,7 persen dari target 20 persen pada kuartal I 2025. Program efisiensi belanja yang digulirkan pemerintah, meskipun bertujuan baik, ternyata turut memberikan sentimen negatif terhadap ekonomi Indonesia di awal tahun ini.
Faktor eksternal juga turut memberikan tekanan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025. Ajib mengaitkannya dengan kontraksi ekonomi global yang dipicu oleh kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Kebijakan ini mengakibatkan penurunan permintaan barang dari Amerika, menciptakan efek tarif Trump yang memberikan sentimen negatif sepanjang kuartal kedua dan memengaruhi kinerja ekspor Indonesia.
Merespons kondisi yang menantang ini, Ajib Hamdani merekomendasikan pemerintah untuk menyusun orientasi kebijakan jangka pendek untuk periode Juni hingga semester kedua 2025. Strategi ini dapat diwujudkan melalui program stimulus ekonomi yang berfokus pada pemberian bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat. Harapannya, langkah ini dapat segera meningkatkan konsumsi domestik dan mendongkrak daya beli, sehingga pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2025 dapat mencapai angka yang lebih tinggi.
Sejalan dengan kekhawatiran di tingkat domestik, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) juga telah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini. Proyeksi tersebut dipangkas dari 4,9 persen menjadi 4,7 persen. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menjelaskan bahwa pemangkasan proyeksi ini merupakan bagian dari tren global yang terdampak oleh perang tarif atau tarif resiprokal yang melibatkan Amerika Serikat.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu menegaskan bahwa pemerintah saat ini berfokus pada upaya menjaga daya beli masyarakat demi mempertahankan laju pertumbuhan. Salah satu langkah konkret yang telah diambil adalah peluncuran lima paket stimulus ekonomi. Airlangga juga menambahkan bahwa banyak negara anggota OECD lainnya turut menerapkan paket-paket serupa untuk menjaga daya beli warganya di tengah situasi ekonomi global yang penuh tantangan.
Sebagai informasi tambahan, OECD merupakan organisasi internasional yang terdiri dari 38 negara yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar bebas. Indonesia sendiri telah menyerahkan dokumen Initial Memorandum kepada OECD, sebuah langkah penting sebagai syarat aksesi untuk menjadi anggota. Dokumen bersejarah ini diserahkan langsung oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto di sela-sela pertemuan tingkat menteri Dewan OECD 2025 yang berlangsung di Paris, Prancis, pada 3 Juni 2024.
Anastasya Lavenia, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Persaingan Baru Pembangkit Batu Bara dan Energi Terbarukan