JAKARTA, KOMPAS.com – Nilai tukar dollar Amerika Serikat (AS) sedang berada dalam tekanan signifikan, mendekati level terendahnya dalam 3,5 tahun terakhir jika dibandingkan dengan euro dan pound sterling. Pelemahan ini tak lepas dari respons pasar keuangan global yang dihantui dua faktor utama: ekspektasi kuat akan pemangkasan suku bunga oleh bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), serta spekulasi intens seputar masa depan Ketua The Fed, Jerome Powell, di bawah potensi pemerintahan Presiden Donald Trump.
Pada Jumat (27/6/2025), indeks dollar AS, yang menjadi tolok ukur kekuatan mata uang Negeri Paman Sam terhadap enam mata uang utama dunia, terperosok ke posisi 97,398. Angka ini menandai level terendah sejak Maret 2022. Penurunan tajam ini bukan fenomena sesaat; dalam sebulan terakhir, indeks dollar telah terkoreksi dua persen, mencatat penurunan beruntun selama enam bulan. Sejak awal tahun, kerugiannya bahkan melampaui 10 persen, menunjukkan tren pelemahan yang konsisten.
Kondisi ini diperparah oleh pernyataan Carol Kong, analis strategi mata uang di Commonwealth Bank of Australia (CBA), yang dikutip dari Reuters. Ia berpendapat, “Semakin cepat pengganti Powell diumumkan, semakin cepat ia bisa dianggap sebagai ‘bebek lumpuh’.” Pandangan ini menggambarkan kekhawatiran pasar terhadap potensi perubahan kepemimpinan The Fed yang dapat memicu ketidakpastian kebijakan moneter.
Baca juga: Harga Emas Dunia Diramal Tembus 4.000 Dollar AS, Defisit Anggaran AS Jadi Pemicu Utama
Meskipun masa jabatan Jerome Powell sebagai Ketua The Fed baru akan berakhir pada Mei 2026, pernyataannya dalam sidang Kongres AS pekan ini dinilai sangat dovish atau cenderung longgar. Hal ini semakin memperkuat ekspektasi pasar akan pemangkasan suku bunga yang lebih agresif. Pelaku pasar kini memproyeksikan potensi pemangkasan suku bunga acuan The Fed tahun ini bisa mencapai 64 basis poin, melonjak dari perkiraan sebelumnya yang hanya 46 basis poin.
Di sisi politik, Donald Trump, yang dikabarkan belum menunjuk pengganti Powell secara resmi, ternyata telah mempertimbangkan beberapa nama calon. Kecenderungan Trump untuk memilih figur yang mendukung kebijakan moneter longgar menambah tekanan pada nilai dollar. Carol Kong kembali menegaskan, “Untuk saat ini, ekspektasi Presiden Trump akan memilih ketua yang lebih dovish akan terus menekan harga FOMC dan dollar AS.” Ini mengindikasikan bahwa prospek kepemimpinan The Fed yang lebih lunak di bawah pengaruh Trump menjadi faktor dominan yang menekan kinerja dollar AS.
Baca juga: Investor Beralih ke Bitcoin Saat Harga Emas Terkoreksi dan The Fed Tahan Suku Bunga
Pelemahan dollar AS secara otomatis memberikan ruang bagi mata uang utama lainnya untuk menguat. Nilai tukar euro misalnya, terpantau di kisaran 1,16885 dollar AS atau sekitar Rp 19.287, setelah sempat mencapai 1,1745 dollar AS (Rp 19.379) pada sesi sebelumnya. Demikian pula dengan pound sterling yang mendekati puncaknya di 1,3725 dollar AS (Rp 22.646), tidak jauh dari rekor tertingginya pada Oktober 2021.
Tidak hanya mata uang utama, mata uang safe haven seperti yen Jepang dan franc Swiss juga turut mencatat penguatan signifikan. Yen diperdagangkan di level 144,56 per dollar AS, sementara franc Swiss menguat hingga 0,8013 per dollar AS, mendekati level tertingginya dalam satu dekade terakhir. Bahkan, dollar Australia, yang kerap dianggap sebagai proksi risiko, naik ke 0,6564 dollar AS (Rp 10.831), mencapai titik tertinggi dalam tujuh bulan. Senada, dollar Taiwan juga menguat pesat, menyentuh titik terkuatnya sejak April 2022.
Sentimen pasar yang menghindari dollar AS ini digambarkan oleh seorang pedagang mata uang di Taiwan yang dikutip Reuters, “Semua orang menjual dollar AS, investor asing menjual, dan eksportir juga menjual. Bahkan pagi ini, kami punya klien besar yang melepas seluruh posisi dollar AS mereka.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa penjualan dollar AS telah menjadi tren yang meluas di berbagai kalangan investor.
Di samping dinamika moneter dan politik, pasar juga terus mencermati tenggat waktu 9 Juli untuk kesepakatan perdagangan baru yang diusung oleh Donald Trump. Jika kesepakatan ini gagal tercapai, Trump telah mengancam akan memberlakukan tarif timbal balik terhadap negara-negara mitra dagang utama, yang tentu dapat menambah ketidakpastian di pasar global dan berpotensi memicu volatilitas mata uang.
Merosotnya nilai tukar dollar AS menjadi sebuah indikator jelas bagaimana dinamika politik di Washington dan arah kebijakan moneter The Fed secara signifikan memengaruhi persepsi global terhadap stabilitas ekonomi Amerika Serikat. Sentimen pasar yang cenderung menghindari greenback semakin memperkuat keyakinan bahwa para investor kini giat mencari alternatif aset yang dianggap lebih stabil dan menjanjikan di tengah ketidakpastian global.
Tinggalkan Balasan