Bulan Juni seringkali menjadi momen yang dinanti-nanti oleh para investor saham pemburu dividen, seiring banyaknya emiten yang mencairkan keuntungan kepada pemegang saham. Meski aliran dividen bisa memanjakan rekening, fenomena umum yang kerap menyertai adalah harga saham yang cenderung melemah setelah pembagian tersebut. Koreksi ini bukanlah hal baru di pasar modal, sering kali dipicu oleh aksi ambil untung dari investor atau yang populer dikenal sebagai efek setelah periode cum-dividen.
Salah satu contoh nyata terlihat pada saham PT Jasa Marga Tbk (JSMR). Setelah melewati masa cum-dividen pada Senin (19/5), harga saham JSMR langsung mengalami tekanan jual yang signifikan. Aksi realisasi keuntungan oleh investor pasca-penetapan hak dividen menjadi pemicu utama penurunan ini. Sehari setelahnya, pada Selasa (20/5), saham JSMR ditutup anjlok 4,08 persen, mencapai level Rp 4.000 per saham. Penurunan ini jelas mencerminkan respons pasar yang lumrah terjadi usai pembagian dividen.
Fenomena serupa juga dialami oleh emiten telekomunikasi raksasa, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM). Setelah periode cum-dividen pada Selasa (10/6), sehari berselang, saham TLKM terkoreksi 4,47 persen, bertengger di level Rp 2.780 per saham. Contoh-contoh ini menggarisbawahi bahwa koreksi harga saham pasca-dividen adalah pola yang sering berulang di pasar modal Indonesia.
Menanggapi peristiwa-peristiwa tersebut, Ekonom sekaligus Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menjelaskan bahwa penurunan harga saham setelah pembagian dividen merupakan hal yang wajar. “Biasanya setelah ex-dividen, ada saja penurunan harga saham karena investor merealisasikan profit setelah dapat dividen,” jelas Nafan kepada kumparan, Rabu (11/6). Menurut Nafan, koreksi harga saham pasca-dividen justru dapat menjadi peluang emas bagi investor yang jeli.
Dia menilai momen tersebut kerap dimanfaatkan untuk kembali melakukan akumulasi saham, mengingat pergerakan harganya menjadi lebih menarik. Kondisi yang sering disebut dividen trap ini, kata Nafan, dapat menciptakan harga saham yang undervalued sehingga semakin memikat perhatian para pelaku pasar untuk kembali masuk. Membeli saham di harga rendah, imbuhnya, berpotensi memberikan cuan atau keuntungan yang lebih besar di kemudian hari. Beberapa sektor yang menurutnya patut diperhatikan ke depannya antara lain sektor perbankan, saham-saham non-siklis seperti Mayora, serta saham infrastruktur seperti Jasa Marga (JSMR). “Kalau kita beli saat harga di bawah, itu peluang bagus. Sektor perbankan masih menarik, juga non-siklis seperti Mayora dan infrastruktur seperti JSMR,” lanjut Nafan.
Senada dengan pandangan Nafan Aji, Financial Planner Andy Nugroho juga menegaskan bahwa penurunan harga saham setelah dividen dicairkan merupakan hal yang wajar. “Karena ada investor-investor yang mereka membeli suatu saham demi mengejar dapat pembagian dividennya saja,” kata Andy kepada kumparan, Rabu (11/6). Andy menjelaskan bahwa investor dengan tipe ini hanya masuk menjelang tanggal pencatatan dividen dan segera keluar setelahnya, sehingga memicu tekanan jual yang berdampak pada harga saham.
Namun, bagi investor yang memiliki proyeksi jangka panjang, koreksi ini justru bisa menjadi keuntungan yang optimal. “Bagi investor yang proyeksinya untuk jangka panjang, hal tersebut bisa menjadi peluang karena mereka bisa mengakumulasi saham tersebut lebih banyak lagi sehingga bisa mendapatkan dividen lebih besar lagi di pembagian dividen berikutnya,” jelasnya. Tidak hanya itu, investor bertipe trader juga dapat mengambil manfaat dari kondisi ini. Mereka bisa masuk saat harga saham terkoreksi dan menjual kembali ketika harga saham mengalami rebound atau pemulihan.
Untuk sektor-sektor yang menjanjikan di semester kedua tahun 2025, Andy merekomendasikan sektor keuangan, khususnya perbankan besar, sektor komoditas seperti barang baku, mineral, dan energi, sektor infrastruktur, sektor konsumen primer, serta teknologi. Dalam hal strategi investasi, Andy menekankan pentingnya kombinasi antara mengejar dividen dan capital gain. “Tergantung dari strategi investasi masing-masing investor. Akan lebih baik lagi bila bisa dikombinasi di antara keduanya baik melalui capital gain serta mendapatkan dividen,” lanjut dia. Untuk kuartal ketiga 2025 nanti, ia secara spesifik merekomendasikan sektor komoditas, konsumsi, dan ritel. Menurutnya, jika kondisi global membaik, peluang penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cukup besar. “Faktor stimulusnya adalah bila arus dana asing kembali masuk, musim liburan sekolah dan berbagai stimulus pemerintah, penurunan bunga penjamin LPS, hingga kondisi geopolitik dapat mendorong IHSG dapat menguat,” ujar Andy.
Tinggalkan Balasan